SETELAH MEMBACA, JANGAN LUPA BERKOMENTAR DAN FOLLOW

Rabu, 25 Juni 2014

Berakhir Abadi

          Petunia Fatmarrasyid
  
          Assalamualaikum Wr Wb

          Apa kabarmu nak? Bagaimana pula kabar ayahmu? Semoga baik-baik saja. Ini ibumu, Fatimah, yang ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja.
          
          Hanya maaf yang ingin ku ucap, aku menyesal telah pergi begitu saja dari hadapanmu. Ibu tahu, bilasaja aku hadir, engkau takkan mengenali wajah ini. Mungkin juga kau menganggapku wanita paling menyedihkan yang pernah kau temui. Sekali lagi, maafkan ibu. Nia, aku selalu menyempatkan diri untuk berlalu di depan rumah. hanya saja, bersembunyi adalah perbuatan yang benar ketika melihat ayahmu. Aku tak mau memancing kemarahannya lagi. kau sendiri telah memahami bagaimana bencinya ia terhadapku.
          
          Nak, jika kau tak mau memaafkan ibu, setidaknya sampaikanlah permintaan maaf ini kepada ayah. Semoga, sedikit harapan itu tetap ada. Baik-baiklah di sana dan jadilah orang yang berguna untuk semua orang, jangan sampai kau berakhir sepertiku

          Wassalamualaikum Wr Wb

Salam sayang,
       Ibumu




     Bagaimana rasanya? Tak pernah terbayang olehku. Lahir tak sempurna, berdiri tanpa saudara, berada di antara kesusahan, serta tanpa mengenal sosok bunda. Terkadang aku marah terhadap Tuhan. Peran yang ku dapatkan dalam opera ini tak pernah sama dengan keinginan. Namun Bapak berbeda, ia tak pernah menampakkan kejengkelannya kepada Maha Pencipta. Atau mungkin, ia mampu menghapus pikiran itu dari benaknya.
    Pulang dengan wajah lusuh dan berpeluh, serta garis-garis halus yang memperjelas kehidupan. Kerap kali ia mengucap, “Nia, kita akan menggapai kebahagiaan itu. Sedikit lagi kita sampai”. Kalimat yang berkali-kali ia katakan, dan aku tak pernah mengerti apa maknanya.

     Kini usiaku mendekat ke arah 15 Tahun, aku rindu hadir di sekolah. Namun sayangnya, mereka menyediakan bangku bagi siswa cacat sepertiku. Mereka bilang, “Seharusnya kau bersekolah di sekolah khusus penyandang cacat, bukan di sini”. Kasihan bapak, ia tak akan mampu membayar uang sekolahku jika kami mengikuti saran itu. Kini, yang perlu ku lakukan adalah bersabar untuk keseribu kalinya.
     Keinginanku yang lain ialah bertemu ibu. Kata tetangga, ibuku orang baik. Hanya saja, ibu tak sanggup menyusuri derasnya cobaan. Lalu ia berniat menggugurkan bayinya. Ibu tak ingin darah dagingnya merasakan penderitaan ini. Namun Bapak terlanjur marah besar terhadapnya. Dan memutuskan untuk membencinya disepanjang usia. Sesungguhnya, siapa yang lebih bernasib malang? Aku, ibu atau bapak?


*****
     Aku terbangun dan menatap langit-langit yang tak biasa. Langit-langit yang belum pernah ku pandang selama ini. Dan aku sadar bahwa tempatku berbaring bukanlah rumah. Sejauh mata memandang, yang kulihat hanya instrumen-instrumen asing, dan tak satupun aku mengenal orang-orang ini.
     Salah satu dari mereka berkata, “Kamu harus banyak istirahat sayang, kami tak ingin kejadian semalam terulang lagi. Pikirkanlah apa yang menyenangkan bagimu, jangan lagi terpuruk karena keadaan. Dan satu lagi, Bapakmu akan segera kembali. Jangan kau khawatirkan”. Ia berlalu dengan kawan-kawan yang lain sambil mempercakapkan sesuatu yang tak terdengar jelas oleh telingaku.
     Terakhir yang kudengar, derap langkah mendekat. Sepertinya aku mengenal langkah itu, langkah yang tak asing untukku. Aku ingin berdiri, namun raga ini tak menyanggupi. Lalu pintu itu terbuka, ya, benar, itu adalah Bapak. Namun kali ini aku tak memandangnya sedang sendiri. Di belakangnya ada seorang perempuan yang kira-kira berusia 3 tahun lebih muda dari Bapak. Perempuan itu mendekatiku, mendekapku erat, dan menangis. Setelah kejadian itu, aku tak pernah mengingat apapun.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.