Hai
Kasih..
Apa
yang sedang kau lakukan?
Kini,
aku tak ingin menjejalkan keluh di telingamu, aku pun tak kuasa meratap di depan
wajahmu. Tak ingin pula aku menambah
kerut di alis dahimu. Ku rasa, pikulan dipundakmu semakin berat, sungguh aku dapat
merasakannya. Kau tahu, terlintas di benakku bahwa dadamu semakin merunduk
karena adanya insan ini. insan yang
berlumur kesalahan dan tak tahu malu. Ya, seharusnya aku malu pada dirimu. Dirimu
yang penuh ketulusan dan kebaikan.
Banyak hal yang
ingin ku katakan, tapi aku tak mampu berkelut lidah, beradu pandang serta
merasakan hangatnya kehadiranmu. Untuk
itulah kubuat barisan kalimat ini, agar kau dapat membacanya sepanjang waktu.
Lewat ukiran kata inilah, aku ingin kau tahu bahwa di sini aku tak lelah
menunggu.
Kasih.. Aku masih mengingat kapan terakhir kali kita
berbicara. Persisnya berbicara tentang aku dan kamu. Sayangnya, aku tak dapat
mengingat kapan terakhir kali kita berencana meluangkan waktu untuk bertemu. Telah
lama kah itu? Entahlah, aku tak dapat menjawabnya. Yang aku pahami, sekarang kita
tenggelam dalam kesibukan.
Bagaimana kegiatanmu hari ini? Apakah berat? Apakah kau
mempunyai pengalaman baru yang ingin kau ceritakan? Atau kau bertemu rekan-rekan
yang luar biasa? Ayolah.. aku ingin mempunyai sejuta alasan agar kita dapat
berkomunikasi dua arah. Ya, akhir-akhir ini aku kehilangan sedikit rekam
sejarah darimu. Lucu rasanya, ketika jalin kita telah berjalan bertahun-tahun,
namun justru memudar sedemikian rupa, laksana warna pakaian telah lama dijemur.
Kasihku, aku ingatkan lagi bahwa aku tak lelah menunggu.
Pikirku, kita tak lebihnya remaja yang baru saja bertukar
nomor telpon. Grogi, canggung, malu, dan hanya melontarkan kata ala kadarnya
untuk menciptakan suasana. Sejenak teringat, kabar yang kita tukar tak
jauh-jauh dari ucapan selamat pagi, selamat makan dan selamat tidur. Apakah mungkin
jalinan tahunan ini terasa bosan? Apa yang harus kulakukan jika kau merasa
bosan.
Kasih.. Aku bertanya lagi. Apakah ini sebuah jarak? Jika iya,
kapan tepatnya kita memulai jarak ini? Aku bertanya padamu karena aku tak dapat
mengingatnya. Mengapa waktu yang kita tekuni semakin tipis? Mungkin karena kita
melakoni aktivitas yang semakin egois. Sekarang ini, tak ada waktu aku dan kamu
lagi.
Jarang sekali kita bertukar pikiran. Sang waktu tak pernah
memperbolehkan kita untuk bercakap tanpa batas. Ketika menemui hari libur, aku yakin
kau sama halnya denganku, pasti lebih memilih selimut dan bantal untuk
menanggung beban yang dirasakan sepanjang aktivitas. Berjanji bahwa esok hari
akan menumpahkan segala cerita. Namun, esok paginya, selalu saja,
segalanya tertelan mentah-mentah karena kita terbangun dalam keadaan lupa.
Hanya mimpi yang cukup indah yang berhasil tertinggal di kepala.
Kita menganggap semuanya baik-baik saja. Toh ini untuk
kepentingan masa depan bersama. Kalimat itulah yang kujadikan pil penenang dan
pereda rasa sakit saat aku mengingat kerapuhan perasaan ini. Namun, kemudian,
tahukah kau kasih? Terlalu lama berjeda tanpa disadari
kita menggali lubang menganga. Membuat jalinannya tak lagi nyaman,
karena kita semakin jauh tertelan kesibukan dan tak sanggup lagi menghirup
udara di permukaan.
Akibatnya, tanpa sebab yang jelas kita sering beradu
pendapat. Mudah sekali untuk naik pitam, dan terlalu mudah pula memaafkan tanpa
ada solusi yang pasti. Begitu berlanjut hingga tak terhitung ulangannya. Tahukah
kau bahwa ada sebuah fakta, semakin lama, percikan api yang menjilat akan
sebesar naga jika kau tak berusaha memadamkannya.
Memang jarak dan waktu yang sekali lagi memisahkan. Kurangnya
komunikasi dan padatnya jam terbang pun mendukung retaknya jalinan ini. Alih-alih
saling menuding siapa yang paling sibuk dan tak punya waktu, semestinya kita
menanggapi segalanya secara bijaksana. Mengempiskan ego dan mengusahakan
untuk saling ada adalah jalan yang sebenar-benarnya, mengingat bahwa
ini merupakan perjuangan berdua.
Benar adanya, aku sangat mengagumi sosokmu. yang dapat
menerimaku hingga detik ini. pernahkah aku melontarkan pujian padamu? Jika tak
pernah, itulah pujianku saat ini. Kasih, maukah kau untuk menekuni jalinan kita
kembali? Supaya jalan kita tetap bersisian, pondasi memang harus giat kita
susun dari sekarang.
Sepertinya kita harus mulai merombak tatanan demi kebaikan.
Ya, aku tahu gelombang aktivitas yang menuntut kerja keras dan sedang
menghisap kita ini memang demi menjamin kehidupan di masa depan. Namun, kau dan
aku tentu tak boleh lupa bahwa kita merupakan unsur penting di dalam cerita
asmara ini. Kitalah tokoh utama yang melakoni cerita, tak ada kita maka
kisah ini tak pernah ada dan masa depan berdua tak akan terpeta.
Tertanda,
Kasihmu
yang selalu menunggu