SETELAH MEMBACA, JANGAN LUPA BERKOMENTAR DAN FOLLOW

Minggu, 03 Mei 2015

Menantimu..

Hai Kasih..
Apa yang sedang kau lakukan?
Kini, aku tak ingin menjejalkan keluh di telingamu, aku pun tak kuasa meratap di depan wajahmu.  Tak ingin pula aku menambah kerut di alis dahimu. Ku rasa, pikulan dipundakmu semakin berat, sungguh aku dapat merasakannya. Kau tahu, terlintas di benakku bahwa dadamu semakin merunduk karena adanya insan  ini. insan yang berlumur kesalahan dan tak tahu malu. Ya, seharusnya aku malu pada dirimu. Dirimu yang penuh ketulusan dan kebaikan.
Banyak hal yang ingin ku katakan, tapi aku tak mampu berkelut lidah, beradu pandang serta merasakan hangatnya kehadiranmu. Untuk itulah kubuat barisan kalimat ini, agar kau dapat membacanya sepanjang waktu. Lewat ukiran kata inilah, aku ingin kau tahu bahwa di sini aku tak lelah menunggu.
Kasih.. Aku masih mengingat kapan terakhir kali kita berbicara. Persisnya berbicara tentang aku dan kamu. Sayangnya, aku tak dapat mengingat kapan terakhir kali kita berencana meluangkan waktu untuk bertemu. Telah lama kah itu? Entahlah, aku tak dapat menjawabnya. Yang aku pahami, sekarang kita tenggelam dalam kesibukan.
Bagaimana kegiatanmu hari ini? Apakah berat? Apakah kau mempunyai pengalaman baru yang ingin kau ceritakan? Atau kau bertemu rekan-rekan yang luar biasa? Ayolah.. aku ingin mempunyai sejuta alasan agar kita dapat berkomunikasi dua arah. Ya, akhir-akhir ini aku kehilangan sedikit rekam sejarah darimu. Lucu rasanya, ketika jalin kita telah berjalan bertahun-tahun, namun justru memudar sedemikian rupa, laksana warna pakaian telah lama dijemur. Kasihku, aku ingatkan lagi bahwa aku tak lelah menunggu.
Pikirku, kita tak lebihnya remaja yang baru saja bertukar nomor telpon. Grogi, canggung, malu, dan hanya melontarkan kata ala kadarnya untuk menciptakan suasana. Sejenak teringat, kabar yang kita tukar tak jauh-jauh dari ucapan selamat pagi, selamat makan dan selamat tidur. Apakah mungkin jalinan tahunan ini terasa bosan? Apa yang harus kulakukan jika kau merasa bosan.
Kasih.. Aku bertanya lagi. Apakah ini sebuah jarak? Jika iya, kapan tepatnya kita memulai jarak ini? Aku bertanya padamu karena aku tak dapat mengingatnya. Mengapa waktu yang kita tekuni semakin tipis? Mungkin karena kita melakoni aktivitas yang semakin egois. Sekarang ini, tak ada waktu aku dan kamu lagi.
Jarang sekali kita bertukar pikiran. Sang waktu tak pernah memperbolehkan kita untuk bercakap tanpa batas. Ketika menemui hari libur, aku yakin kau sama halnya denganku, pasti lebih memilih selimut dan bantal untuk menanggung beban yang dirasakan sepanjang aktivitas. Berjanji bahwa esok hari akan menumpahkan segala cerita. Namun, esok paginya, selalu saja, segalanya tertelan mentah-mentah karena kita terbangun dalam keadaan lupa. Hanya mimpi yang cukup indah yang berhasil tertinggal di kepala.
Kita menganggap semuanya baik-baik saja. Toh ini untuk kepentingan masa depan bersama. Kalimat itulah yang kujadikan pil penenang dan pereda rasa sakit saat aku mengingat kerapuhan perasaan ini. Namun, kemudian, tahukah kau kasih? Terlalu lama berjeda tanpa disadari kita menggali lubang menganga. Membuat jalinannya tak lagi nyaman, karena kita semakin jauh tertelan kesibukan dan tak sanggup lagi menghirup udara di permukaan.
Akibatnya, tanpa sebab yang jelas kita sering beradu pendapat. Mudah sekali untuk naik pitam, dan terlalu mudah pula memaafkan tanpa ada solusi yang pasti. Begitu berlanjut hingga tak terhitung ulangannya. Tahukah kau bahwa ada sebuah fakta, semakin lama, percikan api yang menjilat akan sebesar naga jika kau tak berusaha memadamkannya.
Memang jarak dan waktu yang sekali lagi memisahkan. Kurangnya komunikasi dan padatnya jam terbang pun mendukung retaknya jalinan ini. Alih-alih saling menuding siapa yang paling sibuk dan tak punya waktu, semestinya kita menanggapi segalanya secara bijaksana. Mengempiskan ego dan mengusahakan untuk saling ada adalah jalan yang sebenar-benarnya, mengingat bahwa ini merupakan perjuangan berdua.
Benar adanya, aku sangat mengagumi sosokmu. yang dapat menerimaku hingga detik ini. pernahkah aku melontarkan pujian padamu? Jika tak pernah, itulah pujianku saat ini. Kasih, maukah kau untuk menekuni jalinan kita kembali? Supaya jalan kita tetap bersisian, pondasi memang harus giat kita susun dari sekarang.
Sepertinya kita harus mulai merombak tatanan demi kebaikan. Ya, aku tahu gelombang aktivitas yang menuntut kerja keras dan sedang menghisap kita ini memang demi menjamin kehidupan di masa depan. Namun, kau dan aku tentu tak boleh lupa bahwa kita merupakan unsur penting di dalam cerita asmara ini. Kitalah tokoh utama yang melakoni cerita, tak ada kita maka kisah ini tak pernah ada dan masa depan berdua tak akan terpeta.

Tertanda,
Kasihmu yang selalu menunggu



Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.